Senin, 15 November 2010
Aku, Sahabat, dan Penjahat - Sebuah Cerpen
KEVIN Danubrata melangkahkan kakinya dengan tenang memasuki taman kota. Matanya menatap tajam ke depan. Langkahnya yang pasti menunjukkan dia sudah mengenal taman ini dengan baik. Tanpa tergesa-gesa dia menuju salah satu bangku yang terdapat di bawah pohon. Bangku itu menghadap ke air mancur yang banyak terdapat di taman itu.
Di bangku itu telah duduk seorang wanita. Wanita itu berkulit putih, berambut hitam panjang, dan cantik. “Hai, Arya. Sudah nunggu lama?” sapa Kevin tenang.
“Duduklah,” balas si wanita tanpa menatap Kevin sama sekali. Matanya menatap kosong dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Alis Kevin naik. Tidak biasanya Arya bersikap seperti ini. Namun dia pun duduk di bangku itu. Setelah duduk, Kevin tidak berkata apapun. Dia berpikir sejenak. Setelah makan siang tadi, dia menerima pesan singkat dari Arya yang memintanya datang ke sini. Maka dia datang tanpa bertanya-tanya.
Kevin merenungkan sikap Arya. Arya adalah sosok yang terkenal di kampus. Ia dikenal karena pikirannya yang cerdas, wajahnya yang cantik, dan sikapnya yang ramah. Keramahan yang tenang, tulus, dan alami. Namun ada kalanya dia bersikap dingin dan kurang bersahabat, seperti sekarang ini. Sikap yang jarang sekali ditunjukkan Arya.
Beberapa menit berlalu. Arya masih diselimuti kebungkaman yang aneh. Kevin pun tidak berniat mengusiknya. Dia tahu, Arya akan bicara pada saatnya. Dia dan Arya sudah lama bersahabat hingga cukup tahu tabiat masing-masing. Lagi pula Kevin sedang menikmati suasana tempat ini. Taman itu diselimuti cahaya senja yang berpendar, dan suasananya damai. Kevin selalu menyukai keheningan yang damai. Kala semilir angin menerpanya, ingatannya kembali ke beberapa bulan yang lalu.
Kala itu Kevin sedang berkeliaran di sebuah toko buku besar di Bandung. Alasannya adalah untuk mencari sebuah novel terkenal. Novel yang telah terbit beberapa waktu lalu, dan dengan cepat digemari. Kevin sangat ingin membeli novel itu. Selain memang hobi membaca, Kevin juga seorang penulis. Sudah sering cerpennya diterbitkan di majalah-majalah dan koran terkenal. Dan bulan lalu novel pertamanya terbit. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik pula. Maka sejak itu Kevin makin rajin mengikuti perkembangan dunia tulis-menulis. Karena kesibukannya, Kevin baru bisa menyempatkan diri membelinya sekarang. Setelah mencari sebentar, matanya menemukan novel itu. Hanya tersisa satu. Saat akan mengambil novel itu, tangannya berbenturan dengan tangan seseorang. Kevin menoleh. Ternyata seorang wanita. Dan cantik pula. Wanita itu diam saja. Namun dari sikapnya tadi sudah jelas apa yang diinginkannya. Maka dengan sikap ksatria Kevin mengisyaratkan pada wanita itu untuk memiliki novel itu. Biarlah, pikirnya. Masih ada tempat lain.
Kala Kevin hendak beranjak, wanita itu menahannya. Tampaknya dia terkesan dengan sikap Kevin. Wanita itu pun memperkenalkan dirinya. Namanya Arya, dipanggil Arya. Kevin lalu memperkenalkan dirinya juga. Dan dilanjutkan dengan obrolan beberapa lama. Ternyata mereka memiliki hobi yang sama, meminati sastra. Dan juga satu hal lagi, ternyata mereka mahasiswa dari fakultas dan kampus yang sama.
Setelah pertemuan itu, mereka tetap berhubungan. Sampai sekarang Kevin masih heran dengan pertemuan itu. Walau berwajah tampan dan berbakat menulis serta bermusik, Kevin tidak mudah mengawali perkenalan. Dia suka berteman, tapi dia juga suka ketenangan. Agar mudah dapat inspirasi, pikirnya. Mungkin ini disebabkan sikap Arya yang ramah dan supel. Kevin pun tidak keberatan. Baginya Arya adalah sahabat. Selain karena mereka memiliki hobi yang sama, ini juga disebabkan karena sikap Arya yang ramah itu. Arya juga cerdas, sehingga dapat memahami cara berpikir Kevin yang menyukai ketenangan. Maka begitulah mereka adanya. Dua sahabat, tidak kurang, tidak lebih. Mereka merasa puas dengan sebutan itu, sahabat. Tempat sebagian diri kita tertambat.
Tiba-tiba, sebuah sengatan kecil di lengannya membuyarkan lamunan Kevin dan menyeretnya kembali ke realita. Ternyata nyamuk. Sial, gerutu Kevin. “Kevin,” akhirnya Arya memecah keheningan yang dibangunnya sendiri. “Ah…akhirnya. Ada apa, Arya?” tanya Kevin dengan tenang. “Kenapa?” Arya bertanya dengan nada yang dingin dan kosong. “Maksudnya?” Kevin masih tidak mengerti. “Kamis malam seminggu yang lalu, ruang kosong di kampus, pukul 11 malam.” hanya itu balasan Arya.
Kevin langsung tercekat. Kata-kata Arya bagai petir di siang bolong. Sesaat ia merasa jantungnya berhenti berdetak dan darah menguap dari tubuhnya. Jiwanya terguncang. Mati-matian ia mengendalikan tubuhnya yang gemetar. Jadi, Arya tahu. Setelah susah-payah menenangkan diri, dia meyusun kata-katanya.
“Bagaimana…kamu bisa tahu?” tanya Kevin.
“Karena saat itu aku ada di sana.” jawab Arya.
Jawaban itu memukul Kevin dengan telak untuk kedua kalinya. Dia tidak dapat berkata apa-apa lagi. Maka dia terdiam. Arya pun terdiam. Keduanya terdiam. Pikiran Arya pun melayang dituntun kesunyian. Dibimbing oleh ingatan, ke malam itu. Malam yang tak akan dilupakannya seumur hidupnya.
Kala itu Arya tinggal agak lama di kampus untuk mencari materi untuk tugasnya. Setelah selesai, dia pun bermaksud pulang. Saat sedang menyusuri koridor kampus yang lumayan gelap, dia mendengar suara-suara dari ruang di tikungan di depannya. Siapa yang bicara di kampus pada jam selarut ini, pikirnya. Arya lalu memperlambat langkahnya. Dia berhenti di tikungan sebelum pintu ruangan tempat suara itu berasal. Dia mendengarkan dengan seksama. Ada dua orang. Suara yang satunya tenang, dan yang lainnya kasar dan keras.
Arya mengenali salah satu suara itu. Kevin? pikirnya. Dia heran. Namun dia memilih tetap mendengarkan. Dia tercekat mengetahui isi pembicaraan itu. Makin lama pembicaraan makin panas. Suara yang keras itu makin lama makin kasar. Namun tiba-tiba hening beberapa lama, dan disusul bunyi yang keras. Akhirnya, pintu terbuka, dan seseorang melangkah ke luar ke arah berlawanan, berlalu tanpa menyadari kehadiran Arya. Arya tidak dapat berpikir jernih. Kakinya gemetar hebat. Tanpa pikir panjang lagi, ia melesat meninggalkan tempat itu, masuk ke mobilnya, dan segera pulang.
Esoknya, kampus pun gempar. Di ruang kosong itu ditemukan mayat Steve, mahasiswa di kampus itu juga. Bersama sepucuk pistol. Dan yang lebih menghebohkan, di sekitar mayat Steve berserakan berbagai bukti. Bukti tentang pengedaran narkoba. Ternyata Steve adalah pengedar di lingkungan kampus. Selain itu terdapat juga daftar nama anggota Steve, jalur pengedarannya, foto-foto transaksi, dan masih banyak lagi.
Keesokan harinya, berita itu muncul di halaman depan berbagai surat kabar. Jaringan pengedar di kampus dibekuk. Ternyata jaringan itu luas dan melibatkan beberapa aparat kepolisian. Itulah sebabnya komplotan ini bisa melebarkan sayapnya dalam kerahasiaan tanpa tercium sedikitpun. Kecuali bagi Kevin, pikir Arya.
Selama seminggu, Arya gelisah. Dia menjadi saksi dari sebuah pembunuhan. Dan pembunuh itu adalah sahabatnya. Namun korban adalah penjahat. Sampah masyarakat. Terjebak dalam dilema, Arya akhirnya mengambil tindakan. Dia harus mendapat kebenaran itu dari mulut Kevin sendiri.
“Kevin…ceritakan padaku apa yang terjadi malam itu, sekali lagi.” perintah Arya.
“Baiklah, Arya…” desah Kevin. “Malam itu aku memanggil Steve dengan membawa bukti, memaksanya menyerahkan diri ke polisi.”
“Apa kau sudah gila? Kau bisa dibunuhnya.”
“Tidak akan. Aku bilang padanya, jika aku mati, esoknya salinan bukti-bukti itu akan menghiasi media.”
“Dari mana kau dapatkan bukti-bukti itu?”
“Aku punya naluri yang tajam. Karena curiga pada Steve, kuselidiki dia berminggu-minggu.”
“Lalu? Apa yang terjadi?”
“Dia mengancamku dengan pistol untuk menyerahkan bukti. Dia tidak percaya akan ancamanku.”
“Apa? Steve…” Arya tak mampu melanjutkan.
“Aku terdesak. Nyawaku terancam. Sesaat Steve lengah, dan kuhantamkan pipa besi ke lehernya. Aku hanya bermaksud membuatnya pingsan. Ternyata dia mati.”
“Jadi…keheningan itu…”
“Saat Steve menodongku dengan pistolnya.”
“Dan suara keras itu…” Arya akhirnya mengerti.
“Kenapa polisi tidak menangkapmu?” Pertanyaan ini terus menghantui Arya.
Steve menjawab dengan suara bergetar. “Karena aku berhati-hati. Aku sudah menghapus sidik jariku yang ada di bukti-bukti itu sebelum bertemu Steve. Dan pertemuan itu rahasia. Ternyata Steve terbunuh. Aku panik. Sebelum keluar, kuhapus sidik jariku yang ada di pipa besi dan pegangan pintu.”
“Tanpa menyadari bahwa aku ada di balik tikungan…” balas Arya. “Jadi itu sebabnya…” dan Kevin pun tertunduk. Arya pun terdiam. Walau begitu, dia heran dengan tindakan Kevin. Menyelidiki Steve. Mengancamnya. Mungkin karena dia penulis dan banyak membaca, pikir Arya. Sampai di sini dia masih mengerti. Namun, menghapus bukti setelah membunuh. Dia merasa tak lagi mengenal sahabatnya. Dan masih ada satu pertanyaan, walau dia sudah tahu jawabannya.
“Kenapa kamu tidak meyerahkan diri?”
“Itu kecelakaan. Sepenuhnya pembelaan diri. Dan Steve sampah masyarakat. Dia pantas mati.”Arya tercekat mendengar kalimat terakhir itu.
“Itukah jawabanmu?”
“Itulah kebenaran, Arya.”
“Kebenaran? Apa maksudmu?”
“Kebenaran…adalah apa yang ingin didengar oleh masing-masing orang.” Arya terdiam.
“Lihat faktanya, Arya. Masyarakat tak peduli apakah pembunuh Steve tertangkap atau tidak. Mereka justru bahagia. Seorang perusak generasi muda mati, walau ini bukan keinginanku pada awalnya. Kampus kita pun jadi sedikit lebih baik. Inilah…kenyataannya.”
Jauh di bagian terdalam hati dan logikanya, dia mengakui Kevin benar. “Lalu, bagaimana denganku? Aku mengetahui kebenarannya.”
Kevin diam saja. Dia dan Arya sudah tahu jawabannya. Kevin tidak akan pernah mengusik Arya. Arya sahabatnya. Dan Arya pun mengerti. Dia tak bisa melaporkan Kevin. Kevin tak berniat membunuh. Dan jaringan pengedar itu sudah terungkap. Melaporkan Kevin hanya akan membahayakan nyawanya. Kevin sahabatnya.
Mereka sudah lama bersahabat. Saat itu mereka bisa mengetahui pikiran masing-masing tanpa bicara. Keheningan yang menggantung telah menjawab segalanya. Dan mereka pun tahu, karena kejadian ini, persahabatan mereka akan berubah. Entah berakhir atau berlanjut, yang pasti tak akan pernah sama lagi.
Malam mulai menyelimuti mereka. Dengan tenang, Arya berdiri dan beranjak, meninggalkan Kevin di sana. Di bangku itu. Bernaungkan malam berteman sunyi sepi dingin tak terperi. Pada malam itu bintang, pohon, air mancur, bangku, dan semua yang ada di taman itu menjadi saksi. Saksi akan kesunyian. Kesunyian yang menyesakkan seorang Kevin Danubrata.
Rajian S R,
Kelas XII SMAN Plus
Provinsi Riau
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar